Produk Ida menggiurkan dengan adanya brownies, egg roll hingga es krim. Di spanduk stan bertuliskan "Rumah Ketela". Ida mengatakan usaha berawaldari pemanfaatan ketela dan ubi di lingkungan sekitarnya. Tidak disangka turis-turis yang ada di hotelnya menggemari kue-kue berbahan tepung singkong yang ia buat sendiri.
Sejak 2010 itu Ida makin bersemangat memodernisasi bahan yang identik dengan makanan kampung itu.
"Sekarang juga banyak pesanan datang dari jakarta dan Bandung," ujarnya yang meng-hasilkan 20 varian kue ketela.
Tumbuhnya usaha kuliner modern berbahan baku umbi-umbian ini juga terlihat di Yogyakarta, Malang, dan Bogor. Meski sebenarnya tidak pernah hilang dari kuliner Tanah Air, kemasan yang modern menjadi cara untuk menaikkan pamor umbi-umbian. Kemandirian pangan pun bisa terwujud.
Hal inilah yang digemborkan oleh Firmansyah Budi Prasetyo pemilik Cokro Telo Cake di Yogyakarta. "Kita tidak bisa memberi keuntungan bagi petani lokal jika menggunakan gandum."
Berdiri sejak 2009, Cokro Telo Cake mengambil celah kuliner oleh-oleh. Sekitar 500 kilogram ketela diolah tiap hari untuk kebutuhan tepung singkong di tujuh gerainya. Seluruhnya didapatkan di sekitar DIY.
Pada 2011. Firmansyah juga menggelar Festival Tela Indonesia yang memopulerkan ketela melalui lomba fesyen. fotografi, hingga film dokumenter. Beragam cara dilakukaapara pengusaha untuk menaikkan pamor bahan pangan lokal.
Sepertinya gak ada hasil singkong yang terbuang, bahkan sampai ampas singkong (onggok) atau sisa giling tapioka pun sangat laku sebagai alternatif pakan ternak, bahan saos dan obat nyamuk bakar.
BalasHapus